Pages

Senin, 04 Mei 2015

Sejarah Teater

Sejarah Teater Indonesia

Sejarah Teater Indonesia
Sejarah Teater Indonesia: Untuk mengisi blog yang berisi sejarah teater ini, ada baiknya saya meneruskan tulisan-tulisan yang diposting oleh blogger yang mengangkat tentang teater, dan dari beberapa sumber yang ada kaitannya dengan teater, baik dari segi sejarah teater itu sendiri maupun komponen-komponen yang berada di seputar teater. Dan untuk tulisan kali ini diambil dari sumber blog yang mempunyai judul Ketika Seni yang berbicara dengan tulisannya berjudul Sejarah Perkembangan Teater di Indonesia.
 
Berikut Selengkapnya, silahkan dibaca, mudah-mudahan berguna
1. Teater Tradisional
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.

Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir.
Macammacam teater tradisional Indonesia adalah :wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.

2. Teater Transisi (Modern)
Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.

3. Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.

4. Teater Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.
Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik .
Menyusul kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.
Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. ceritacerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan ceritacerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan sandiwara.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.

5. Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah tokohg kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam tokohg kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa tokohg kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa tokohg secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska tokohg, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban tokohg, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian.
Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.

6. Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim Adi Limas mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.
Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).
Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Melarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari
blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.

7. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974.
Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.
Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Republik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot.
Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.

8. Teater Kontemporer Indonesia
Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80- an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak.
Sumber tulisan; http://superkakayuki.blogspot.com/2011/04/sejarah-perkembangan-teater-di.html

Pengertian Pantun, Jenis-Jenis Pantun, Ciri-Ciri Pantun

Pengertian Pantun, Jenis-Jenis Pantun, Ciri-Ciri Pantun

Pengertian Pantun, Jenis-Jenis Pantun, Ciri-Ciri Pantun,- Pantun adalah bentuk puisi lama yang terdiri atas empat larik, berima silang (a-b-a-b). Larik pertama dan kedua disebut sampiran atau bagian objektif. Biasanya berupa lukisan alam atau hal apa saja yang dapat diambil sebagai kiasan. Larik ketiga dan keempat dinamakan isi atau bagian subjektif. Menurut Surana (2010:31). Pengertian lain R.O. Winsted, seorang pengkaji budaya melayu menyatakan bahwa pantun bukanlah sekadar gubahan kata-kata yang mempunyai rima dan irama, tetapi merupakan rangkaian kata indah untuk menggambarkan kehangatan cinta, kasih sayang, dan rindu dendam penuturnya. Dengan kata lain, pantun mengandung ide kreatif dan kritis serta padat kandungan maknanya.
Pantun adalah bentuk puisi Indonesia (melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri dari empat baris yang bersanjak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja sedangkan pada baris ketiga dan keempat merupakan isi; peribahasa sindiran”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1016). Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.

Struktur Pantun
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan. Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi kadang-kadang bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun di bawah ini:
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh
Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-6 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku.
Ciri-Ciri Pantun
Abdul Rani (2006:23) mengatakan bahwa ciri-ciri pantun sebagai berikut:
Terdiri atas empat baris.
Tiap baris terdiri atas 9 sampai 10 suku kata
Dua baris pertama disebut sampiran dan dua baris berikutnya berisi maksud si pemantun. Bagian ini disebut isi pantun.
Syarat-Syarat Pantun
Adapun syarat-syarat membuat pantun sebagai berikut :
a. Satu bait pantun terdiri dari 4 baris
b. Baris ke-1 dan ke-2 adalah sampiran dan baris ke-3 dan ke-4 adalah isi pantun
c. Satu baris pantun terdiri dari 8 - 12 suku kata
d. Pantun bersajak a-b-a-b
Jenis-Jenis Pantun
Menurut Nursisto dalam buku Ikhtisar Kesusastraan Indonesia (2000:11-14) membagi jenis-jenis pantun yakni :
a. Berdasarkan isinya, pantun dibagi menjadi tiga: (1) Pantun kanak-kanak : pantun bersukacita dan pantun berdukacita, (2) Pantun muda : Pantun nasib/dagang dan pantun perhubungan. Pantun perhubungan terbagi lagi menjadi pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun perceraian, dan pantun beriba hati. Dan (3) Pantun tua : pantun adat, pantun agama, dan pantun nasihat.
b. Berdasarkan banyaknya baris tiap bait dibagi menjadi: (1) Pantun dua seuntai atau pantun kilat, (2) Pantun empat seuntai atau pantun empat serangkum, (3) Pantun enam seuntai atau delapan seuntai, atau pantun enam serangkum, delapan serangkum (talibun). 
Menurut Abdul Rani (2006:23-27) mengklasifikasikan jenis-jenis pantun berdasarkan isinya yaitu :
a. Pantun Anak-Anak, terdiri dari : pantun anak-anak jenaka, pantun anak kedukaan, dan pantun anak teka-teki,
b. Pantun Muda-Mudi, terdiri dari : pantun muda mudi kejenakaan, pantun muda-mudi dagang, pantun muda-mudi cinta kasih, dan pantun muda-mudi ejekan.
c. Pantun Tua, terdiri dari : pantun tua kiasan, pantun tua nasihat, pantun tua adat, pantun tua agama, dan pantun tua dagang

Menurut Effendi (1983:29), membagi pantun menurut jenis dan isinya yakni:
a. Pantun anak-anak, berdasarkan isinya dibedakan menjadi 4: pantun bersukacita, pantun berdukacita, pantun jenaka atau pantun teka-teki
b. Pantun orang muda, berdasarkan isinya dibagi 5 : pantun dagang atau pantun nasib, pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun perceraian dan pantun beriba hati
c. Pantun orang tua, berdasarkan isinya terbagi 3 : pantun nasihat, pantun adat, dan pantun agama 
Menurut Suroto (1989:44-45), jenis jenis pantun terbagi menjadi dua yaitu:
a. Menurut isinya, terdiri dari : pantun anak-anak (biasanya berisi permainan), pantun muda mudi (biasanya berisi percintaan), pantun orang tua (biasanya berisi nasihat atau petuah), pantun jenaka (biasanya berisi sindiran sebagai bahan kelakar), dan pantun teka-teki
b. Menurut bentuk atau susunannya, terbagi dua yakni 
1. pantun berkait, yaitu pantun yang selalu berkaitan antara bait pertama dengan bait yang kedua, bait kedua dengan bait ketiga dan seterusnya. Adapun susunan kaitannya adalah baris kedua bait pertama menjadi baris pertama pada bait kedua, baris keempat bait pertama dijadikan baris ketiga pada bait kedua dan seterusnya. 
2. Pantun kilat, sering disebut juga karmina, ialah pantun yang terdiri atas dua baris, baris pertama merupakan sampiran sedang baris kedua merupakan isi. Sebenarnya asal mula pantun ini juga terdiri atas empat baris, tetapi karena barisnya pendek-pendek maka seolah-olah kedua baris pertama diucapkan sebagai sebuah kalimat, demikian pula kedua baris yang terakhir. 
 
 
dikutip dari http://planetxperia.blogspot.com/2014/12/pengertian-pantun-jenis-jenis-pantun.html

Pengertian Puisi, Struktur Puisi dan Jenis-Jenis Puisi

Pengertian Puisi, Struktur Puisi dan Jenis-Jenis Puisi

Pengertian Puisi, Struktur Puisi dan jenis-Jenis Puisi - Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi adalah karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia. (Herman Waluyo). Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). (Sumardi).
Pengertian lain dari puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat (James Reevas). Puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Thomas Carlye). Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo). Puisi merupakan bentuk  pengucapan gagasan yang bersifat emosional dengan mempertimbangkan efek keindahan (Herbert Spencer)
Jenis Puisi
1.    Puisi lama
2.    Puisi baru
A.  Puisi Lama
Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan seperti Jumlah kata dalam 1 baris, Jumlah baris dalam 1 bait, Persajakan (rima), Banyak suku kata tiap baris dan Irama
1.    Jenis puisi lama
Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib
Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
Seloka adalah pantun berkait.
Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
B.  Puisi Baru
Puisi baru adalah puisi yang tidak terikat oleh aturan. bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima
2.    Jenis Puisi Baru
Balada adalah puisi berisi kisah/cerita. Balada jenis ini terdiri dari 3 (tiga) bait, masing-masing dengan 8 (delapan) larik dengan skema rima a-b-a-b-b-c-c-b. Kemudian skema rima berubah menjadi a-b-a-b-b-c-b-c. Larik terakhir dalam bait pertama digunakan sebagai refren dalam bait-bait berikutnya
Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa. Nada dan gayanya sangat resmi (metrumnya ketat), bernada anggun, membahas sesuatu yang mulia, bersifat menyanjung baik terhadap pribadi tertentu atau peristiwa umum.
Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup
Romansa adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih
Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan
Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik
Distikon, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas dua baris (puisi dua seuntai).
Terzina, puisi yang tiap baitnya terdiri atas tiga baris (puisi tiga seuntai).
Kuatrain, puisi yang tiap baitnya terdiri atas empat baris (puisi empat seuntai).
Kuint, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas lima baris (puisi lima seuntai).
Sektet, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas enam baris (puisi enam seuntai).
Septime, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris (tujuh seuntai).
Oktaf/Stanza, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas delapan baris (double kutrain atau puisi delapan seuntai).
Soneta, adalah puisi yang terdiri atas empat belas baris yang terbagi menjadi dua, dua bait pertama masing-masing empat baris dan dua bait kedua masing-masing tiga baris
Struktur Puisi
A.  Struktur fisik puisi
Diksi yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya
Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.
Kata konkret yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji.
Gaya bahasa yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu.
Rima/Irama adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Tipografi yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
B.  Sruktur Batin Puisi
Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca
Amanat/tujuan/maksud (itention); yaitu pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca.